Minggu, 25 April 2010

MASALAH PERBATASAN DI INDONESIA..

Para anggota legislatif 2004 – 2009 telah terpilih, kini rakyat bersiap menyongsong pemilihan presiden dan wakil presiden. Para calonnya atau tepatnya bakal calon sudah ramai diusung-usung. Namun dari semua yang bakal dimajukan itu, hingga saat ini penulis baru melihat satu orang yang mempunyai visi membangun negeri bahari secara sungguh-sungguh, yaitu Abdurrahman Wahid (Gusdur). Lantas ke mana keberpihakan kandidat lainnya?
Ini sangat ironis, mengingat luas wilayah laut Indonesia menyimpan segunung masalah yang harus segera diselesaikan. Di samping tumpang tindihnya perundang-undangan nasional, peraturan/kebijakan antar-departemen, juga perkara internasional yang belum terselesaikan, seperti penetapan batas wilayah laut Indonesia dengan negara tetangga.
Selain itu, sadarkah para pemimpin bangsa ini, kalau kedaulatan (soverignity) Indonesia di wilayah laut digerogoti secara pelan-pelan? Dan akankah “tragedi” lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan terulang kembali akibat pemimpin nasional tidak mempunyai visi membangun Indonesia sebagai negeri bahari? Jawabannya mungkin, kalau bangsa ini dipimpin oleh seorang yang berwatak daratan (continental) yang mengerdilkan kultur masyarakat Indonesia sebagai bangsa bahari.
Harapan masyarakat maritim adalah perhatian yang serius dan keberpihakan pemimpin serta anggota parlemen terpilih terhadap dunia kelautan yang dituangkan dalam blue print kebijakan nasional.
Bila saja kita mau membaca secara serius United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, 1982) akan menemukan beberapa hal yang bisa merugikan kita. Ini karena UNCLOS merupakan hasil kompromi antar-negara, seperti pengakuan terhadap rezim negara kepulauan (archipelagic state) yang mensyaratkan Indonesia memberikan alur laut kepulauan (sea lane passage) untuk pelayaran internasional.
Demi menegakkan Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, maka sudah saatnya pemerintahan pasca-Pemilu 2004 menyadari bahwa luasnya wilayah laut yang diperjuangkan mempunyai nilai bagi kesejahteraan bangsa.

Sepuluh “Sengketa” Perbatasan
Kegagalan pemerintahan sekarang yang paling fundamental adalah terkatung-katungnya pembahasan RUU Batas Wilayah Indonesia, sehingga bangsa ini semakin diliputi ketidakjelasan.
Padahal UU Batas Wilayah dapat dijadikan alat legitimasi dalam kancah hubungan internasional. Selain itu, UU ini sangat berkaitan erat dengan yurisdiksi dan soverignity NKRI. Artinya, tanpa UU Batas Wilayah, maka dikhawatirkan satu per satu pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan negara tetangga akan lepas karena diklaim negara lain, atau lepas untuk berdiri sendiri karena kita memang tidak perduli atasnya.
Indonesia mempunyai permasalahan “sengketa” perbatasan yang belum terselesaikan dengan 10 negara tetangga. Di antaranya: Indonesia dan Australia yang telah menyepakati batas bersama ZEE, namun hingga saat ini belum meratifikasi. Aktivitas penambangan pasir laut berdampak mengkhawatirkan pada keberadaan Pulau Nipah sebagai titik dasar dalam penentuan batas wilayah antara Indonesia dan Singapura. Masalah perbatasan wilayah antara Indonesia dan Malaysia di perairan sebelah Pulau Sebatik masih berlarut-larut, ditambah dengan masalah perairan di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan pasca-Sidang International Court and Justice (ICJ) tanggal 17 Desember 2002.
Juga masalah penetapan ZEE di Perairan Selatan Laut Andaman antara Indonesia dan Thailand. Lalu masalah dengan Filipina yang lebih suka menggunakan Treaty of Paris 1889 ketimbang UNCLOS 1982, sehingga Pulau Miangas masuk ke wilayah Filipina Permasalahan batas RI - Timor Leste pun belum tuntas.
Pekerjaan rumah pemerintahan pasca-Pemilu 2004 yang harus diutamakan adalah menetapkan UU Batas Wilayah dan menyelesaikan peta wilayah laut atau kemaritiman Indonesia dan sesegera mungkin mendepositkan koordinat geografis titik-titik garis pangkal (base line) ke Sekjen PBB, sesuai dengan Pasal 16 ayat (2) UNCLOS 1982. Peta maritim tersebut diperlukan untuk menentukan batas-batas wilayah laut Indonesia dengan negara tetangga dan untuk pelayaran internasional yang akan melintasi perairan Indonesia. Adanya UU Batas Wilayah adalah juga untuk kejelasan pemanfaatan sumber daya laut dalam rangka kesejahteraan bangsa serta untuk keperluan TNI-AL dan Polri dalam menjaga NKRI.

Beberapa Persen yang Bernama
Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah pendataan ulang pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh perairan nusantara, mengingat 17.508 pulau yang dipublikasikan selama ini belum tentu didukung oleh data secara resmi mengenai nama dan posisi geografisnya. Terlebih, informasi tentang data pulau-pulau hingga saat ini berbeda-beda antara satu lembaga dengan lembaga lainnya.
LIPI menyebutkan ada 6.127 nama pulau pada tahun 1972, Pussurta (Pusat Survey dan Data) ABRI mencatat 5.707 nama pulau pada tahun 1987, dan pada tahun 1992, Bakosurtanal menerbitkan Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia sebanyak 6.489 pulau yang bernama (Sulistiyo, Kompas, 28/02/2004). Perbedaan data tersebut mencerminkan bahwa Indonesia masih lemah dalam pengelolaan wilayah lautnya, karena dari 17.508 pulau yang diklaim Indonesia hanya beberapa persen saja yang sudah memiliki nama.
Harap dicamkan benar! Sebagai negara berdaulat, Indonesia harus segera mendepositkan data-data pulau yang dimiliki sebagai bukti atau arsip negara. Hal ini dikarenakan, pulau-pulau yang telah didepositkan akan menjadi salah satu acuan atau landasan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa perbatasan.
Ironisnya, di penghujung masa baktinya, pemerintah sekarang lebih suka membahas undang-undang yang dapat mengenyangkan perutnya sendiri, seperti UU Sumberdaya Air dan Perpu No. 1 tahun 2004 tentang Kehutanan yang nyata-nyata merugikan rakyat. Kedua aturan tersebut kental dengan kepentingan kaum kapitalis.
Marginalisasi kelautan telah menciptakan kompleksitas permasalahan bangsa, dari keterpurukan ekonomi, kerawanan politik hingga terancamnya keutuhan NKRI. Hal lain yang menciptakan keterpurukan sektor kelautan adalah pembangunan kelautan yang tidak dilakukan oleh satu koordinasi lembaga negara, melainkan secara sendiri-sendiri (parsial). Akibatnya, banyak aturan-aturan atau kebijakan-kebijakan yang tumpang tindih, dan tidak sedikit yang menimbulkan konflik, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal.
Pembangunan kelautan mutlak melibatkan berbagai lembaga negara (multisektor dan lintas departemen) secara bersama dan sinergik, eksekutif, legislatif mau pun yudikatif. Memajukan dunia kelautan Indonesia memerlukan militansi pemerintah, seperti halnya militansi pada awal pemerintahan Orde Baru. Adanya keberpihakan pemerintah terhadap kelautan diharapkan dapat mengembalikan citra Indonesia sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar yang disegani dunia.

Penulis adalah peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), mahasiswa pascasarjana Hukum Internasional Universitas Padjadjaran.