Minggu, 02 Mei 2010

MALAYSIA MENGGESER PATOK PERBATASAN

MALAYSIA MENGGESER PATOK PERBATASAN

PONTIANAK - Warga Malaysia asal negara bagian Sarawak, yang
berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) menggeser patok
batas negara ke arah Indonesia sejauh 600 meter. Pergeseran itu
terjadi di Desa Gumbang, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang.
Akibatnya, lahan sejauh 600 meter dari patok batas negara dijadikan
lahan perladangan berpindah-pindah.
Hal itu dikatakan Danrem 121/ABW Kodam VI Tanjungpura Kolonel Inf
Bambang Budi kepada wartawan di Pontianak Kalbar, Senin (14/3).
Ia mengatakan, sesuai dengan laporan yang diterima, pergeseran patok
batas negara itu sudah terjadi sejak tahun 1990 lalu. Namun baru
sekarang ini muncul ke permukaan dan sejak itu warga Malaysia sudah
mengelelola lahan tersebut.
Dalam menggeser patok batas itu, warga Malaysia dengan melakukan
perladangan berpindah. Sementara warga Indonesia yang berdiam di
lokasi itu tidak bisa berbuat banyak dan terasa agak segan untuk
melarang.
Hal itu terjadi karena hubungan masyarakat yang ditinggal di perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia itu sudah sangat intim.
Sebab diantara sudah saling kawin dan bisa dikatakan menjadi satu
ikatan keluarga. Sehingga pada saat warga Malaysia memindahkan patok
batas itu, warga Indonesia tidak mampu melarang. Mereka juga sudah
mengelola lahan itu dengan membangun perkebunan.
Ditambahkan untuk memastikan pergeseran patok batas negara, Danrem
Bambang sudah melaporkan ke Kodam VI Tanjungpura dan direncanakan
pada Selasa (14/3) tim itu akan sampai di lokasi. Sehingga dapat
segera dicek kebenaran di lapangan.
Danrem menegaskan, untuk menyelesaikan dan mengantisipasi masalah pergeseran patok batas, diperlukan kemauan yang kuat dari semua
pihak. Sebab aparat TNI khususnya yang ada di lokasi Kalbar hanya
menunggu perintah.
Selain itu dalam hal menyelesaikan masalah pergeseran patok batas
harus diselesaikan antara dua negara. Namun yang memudahkan pihak
Indonesia adalah masih banyak orang tua yang tinggal di perbatasan
dan masih ingat akan batas negara yang sudah dibuat sebelumnya.
Tujuh Titik
Ia menambahkan hingga saat ini ada tujuh titik batas negara yang
belum disepakati oleh kedua negara. Sebelumnya adalah enam titik,
namun dengan munculnya masalah patok batas di Kecamatan Siding ini,
pemerintah provinsi dan Korem akan mengusulkan menjadi tujuh titik.

Ketujuh patok batas yang masih bermasalah itu adalah, Batu Aum,
Sungai Buan (Gunung Jagoibabang), Gunung Raya, Tanjung Datuk,
Semitau, Sungai Sinapat dan Kecamatan Siding. Khusus patok di
kecamatan Siding, akan segera dilakukan pengecekan ke lokasi.
Namun patok itu sudah dipindahkan oleh warga Malaysia sejauh 600
meter, dikatakan demikian karena patok lama masih ada dan mereka
membuat patok baru. Tim terpadu itu akan segera melakukan pengukuran.
Sementara titik koordinatnya akan ditentukan melalui kesepakatan dua
negara.
Ia menambahkan, panjang perbatasan Indonesia dengan Malaysia di
Kalbar mencapai 870 kilometer. Di sepanjang perbatasan itu sebenarnya
sudah ada patoknya. Namun sudah banyak yang rusak dan hilang. Oleh
sebab itu perlu dilakukan pembenahan sehingga patok itu tidak
bergeser.
Jumlah patok di sepanjang perbatasan Indonesia dengan Malaysia di
Kalbar, yaitu patok A sebanyak 4 buah. Jarak antara satu patok dengan
patok lainnya mencapai 300 kilometer. Patok B sebanyak 24 buah
jaraknya 56 Kilometer. Patok C sebanyak 96 buah jaraknya 5 Kilometer.
Patok D sebanyak 7.020 buah , jaraknya 100-200M. Sementara data
terakhir, di wilayah antara Sambas dengan Bengkayang jumlah patok D
hilang sebanyak 5 buah, patah 2 buah, bergeser 3 buah. Sedangkan
Patok E hilang sebanyak 3 buah. Untuk kabupaten Sanggau patok Nomor
405-414 bergeser, patok nomor 415 hilang. Selanjutnya patok nomor 416-
573 bergeser dan enam patok patah. Sementara di kabupaten Kapuashulu
9 patok T hilang.
Ditegaskan, untuk mengantisipasi dan menghindari pergeseran patok
batas negara itu perlu segera dilakukan pembenahan dan pengamanan.
Sementara kekuatan yang dimiliki TNI AD di perbatasan sangat
terbatas. Pihaknya mengharapkan agar segera dilakukan pembicaraan dan
ada kesepakatan masalah pergeseran patok tersebut. "Sehingga ada
penyelesaian hukum terhadap warga Malaysia yang sudah mengelola lahan
milik Indonesia khususnya di kecamatan Siding," tandasnya.

PULAU-PULAU KECIL SEBAGAI MASALAH PERBATASAN DI INDONESIA

PULAU-PULAU KECIL SEBAGAI MASALAH PERBATASAN DI INDONESIA

Pulau – Pulau Kecil Perbatasan (PPKB) yang berada di kawasan perbatasan Negara jumlahnya

mencapai 92 buah pulau. Menurut pasal 8 UU No. 43 Tahun 2008 tentang Negara Wilayah yakni secara

yurisdiksi berbatasan dengan wilayah yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau,

Thailand, Timor Leste, dan Vietnam. Pulau – pulau tersebut memiliki nilai strategis secara geo-politik, geoekonomi,

geografi maupun geo-kultural.

Pertama, geo - ekonomi. Secara geo-ekonomi, PPKB memiliki potensi sumberdaya ekonomi yang

meliputi (i) sumberdaya kelautan berupa perikanan tangkap (ikan, teripang, kepiting, dan moluska), budidaya

laut, terumbu karang, dan lamun, serta (ii) sumberdaya non-kelautan berupa hutan mangrove, tanaman

perkebunan (kelapa), cengkeh, dan pala maupun tanaman pangan. Sumberdaya ekonomi tersebut menjadi

sumber mata pencaharian masyarakat yang menghuninya.

Kedua, geo - politik. Secara geo-politik PPKB bernilai strategis untuk mengukuhkan eksistensi wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mengingat batas maritime Indonesia dengan Negara tetangga

acuannya diawali dari pulau perbatasan yang terluar. Apabila, pulau perbatasan terluar mengalami degradasi

akibat ancaman abrasi, tindakan destruktif manusia yang mengekpsploitasi sumberdaya mineral yang

terkandung di dalamnya maupun di perairannya, otomatis akan berdampak pada keberadaan pulau itu.

Apalagi, sekarang ini ancaman perubahan iklim global yang membuat permukaan air laut meningkat sehingga

pulau – pulau kecil berpotensi akan tenggelam. Bila hal ini terjadi di PPKB Indonesia, otomatis akan

mengancam batas maritime Negara kita dengan Negara tetangga (kedaulatan nasional).

Ketiga, secara geografis, PPKB merupakan titik awal untuk menunjukkan kepada negara – negara

tetangga bahwa dari situlah batas wilayah Indonesia dengan mereka. Hal ini sejalan dengan ketentuan hukum

laut internasional, UNCLOS 1982 bahwa batas terluar dari negara kepulauan ditentukan berdasarkan posisi

pulau terluar ke arah laut bebas atau dengan negara tetangga yang berbatasan langsung secara geografis.

Walaupun, Indonesia masih menyisahkan pelbagai kesepakatan yang belum tuntas dengan negara tetangga

seperti Timor Leste, Palau dan Malaysia.

Keempat, geo - kultural. Kultur masyarakat di PPKB umumnya bersifat heterogen karena berasal dari

berbagai etnik yang memiliki karakteristik sosio-kultural yang khas seperti orang Bugis, Makassar, Bajo, dan

Buton. Mereka umumnya sebagai bangsa pelaut yang mencerminkan khasanah kultural tersendiri. Proses

bermukimnya mereka di PPKB itu sudah berlangsung lama akibat kondisi sosial – ekonomi yang mereka

hadapi di daerah asalnya maupun konflik peperangan yang kerap disebut sebagai proses “diaspora”.

Akibatnya, masyarakat di PPKB mau tidak mau harus mengalami proses akulturasi budaya dari pelbagai etnik.

Kondisi multikulturalisme yang mewarnai masyarakat di PPKB secara geo-kultural menjadi kekuatan potensial

untuk merekatkan nilai-nilai kebangsaan Indonesia dan memperkuat eksistensi NKRI. Bahkan, etnik-etnik

tersebut memiliki tradisi – tradisi kebudayaan (seni, sastera maupun teknologi perkapalan tradisional) yang

sebenarnya merupakan kekuataan pengetahuan asli bangsa Indonesia. Sayangnya, sebagian pengetahuan

ini terserabut dari akarnya akibat ”kolonialisasi” yang berlangsung lama sehingga mempengaruhi proses

kemajuan dan kemampuan masyarakat Indonesia dalam bidang teknologi kelautan dan perkapalan.

Nilai – nilai strategis yang dikemukakan ini otomatis berpengaruh signifikan dalam menyusun tata

ruang nasional di Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan peraturan perundangan yakni (i) UU

No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (PWP3K) yang khusus

mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau kecil. UU ini juga menjadi dasar untuk

menata ruang wilayah Pulau – Pulau Kecil selain (ii) UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang yang

memang menjadi dasar utama pengaturan ruang di wilayah Indonesia termasuk di pulau kecil perbatasan.

1 Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Pulau–pulau kecil perbatasan di Indonesia jumlahnya 92 buah pulau itu memiliki permasalahan yang

kompleks dari berbagai aspek baik secara ekonomi, ekologis, geologis, osenografis, politik, sosial-budaya

maupun pertahanan keamanan.

Pertama, secara ekonomi PPKB memiliki akses ekonomi dan dinamikanya lebih bergantung kepada

negara tetangga Indonesia yang kerap memiliki disparitas yang jauh dari segi kesejahteraan masyarakat, dan

infrastruktur sosial maupun pendidikan. Umpamanya, pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan

Malaysia Utara dan wilayahnya dibagi dua antara Indonesia dan Malaysia, kondisi ekonomi masyarakatnya

berbeda jauh dengan wilayah yang masuk teritorial Malaysia ketimbang Indonesia. Apalagi, bila dibandingkan

dengan Tawau maupun Sabah di Malaysia, jaringan infrastruktur transportasi daratnya maupun sarana sosial

amat timpang. Akibatnya, masyarakat di wilayah PPKB umumnya berada dalam kondisi miskin dan tertinggal,

bila dibandingkan dengan wilayah induknya. Mungkin Pulau Sebatik masih relatif dekat dengan Kabupaten

Nunukan ketimbang Pulau Miangas yang jaraknya amat jauh dengan daratan Provinsi Sulawesi Utara atau

yang paling terpencil adalah Palau dengan Provinsi Papua.

Kedua, ekologis eksistensi PPKB dipengaruhi daya dukung pulau kecil yang amat rentang dengan

perubahan lingkungan (perubahan iklim) yang terjadi secara global. Umpamanya, kenaikan suhu permukaan

laut akan menyebabkan (i) air laut mengalami keasaman sehingga biota yang hidup di badan air dan siklus

rantai makanan akan terputus; (ii) ekosistem terumbu karang yang banyak mengelilingi sekitar perairan pulaupulau

kecil seperti di pulau Bras akan mengalami pemutihan (bleching) sehingga secara ekologi, biota (ikan

karang) yang berasosiasi dengan terumbu karang akan mengalami penurunan populasi maupun

kelimpahannya. Belum lagi kerusakan ini otomatis akan mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat

yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya tersebut. Ekosistem terumbu karang yang terpelihara

dengan baik terutama tipologi karang penghalang (barrier reef) amat berperan melindungi pulau dari

hantaman gelombang sehingga tak menyebabkan abrasi yang mengancam eksistensi pulau itu.

Eksistensi pulau kecil juga amat ditentukan oleh vegetasi yang tumbuh di sekeliling daratannya.

Umpamnya, hutan mangrove ataupun jenis tanaman waru. Keberadaan vegetasi ini amat berperan dalam

melindungi pulau dan masyarakat yang bermukim di dalamnya dari ancaman angin topan, dan gelombang laut

tinggi. Bukan hanya itu, secara ekologis ekosistem mangrove juga berperan sebagai tempat biota laut (ikan

dan udang) untuk berkembang biak dan mencari makan termasuk habitat burung, dan hewan lainnya. Bahkan,

perakaran mangrove dapat menjadi penyaring bahan pencemaran minyak yang kerap dibuang kapal yang

melintasi perairan Indonesia. Apalagi beberapa pulau perbatasan kita berada di jalur Alur Laut Kepulauan

Indonesia (ALKI) I- III yang ramai dilayari kapal-kapal besar dari Asia ke benua Amerika melalui Pasifik.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, perubahan iklim global juga mempengaruhi kondisi dan

keberlanjutan PPKB. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 dalam Chapter

16 tentang Pulau-Pulau Kecil menyimpulkan bahwa perubahan iklim berdampak luas dan kompleks. Bahkan,

ekstrimnya akan mampu menenggelamkan pulau tersebut. Barnet dan Adger (2003) yang meringkas

penelitian Nurse dan Sem (2001) menyajikan dampak perubahan iklim global terhadap negara-negara di pulau

attol di Pasifik misalnya yakni:

1. Terjadinya kehilangan lahan yang potensial apabila terjadi kenaikan permukaan air laut.

2. Terjadinya perubahan dalam komposisi dan kompetisi antar spesies yang hidup di pulau tersebut

3. Degradasi terumbu karang, mangrove, dan rumput laut akan berdampak negatif terhadap populasi ikan

karang

4. Meningkatnya salinitas tanah pada batas wilayah pesisir pulau-pulau

5. Meningkatnya perubahan turunnya curah hujan yang mengakibat kekeringan

6. Meningkatnya angin siklon yang disertai dengan gelombang dan badai yang menyebabkan banjir

7. Terjadinya dampak kegagalan panen tanaman makan pokok yang diakibatkan perubahan kelembaban

tanah, salinitas dan curah hujan.

8. Menurunnya keamanan pangan akibat kegagalan panen.

9. Terjadinya erosi di wilayah pesisir akibat perubahan iklim yang menyebabkan kerugian dalam bidang

pariwisata

10. Terjadinya dampak ekonomi yang disebabkan kerusakan infrastruktur di negara pulau yang diakibat

bencana alam dan menurunkan pendapatan dari sektor pariwisata.

11. Menurunnya derajat kesehatan masyarakat akibat wabah penyakit dan ketidaknyaman pangan.

Sementara itu, hasil penelitian lainnya yang mengkaitkan antara perubahan iklim dan pembangunan

berkelanjutan (Hay et al, 2003, Hug dan Reid, 2004, Munasinghe, 2003, Koshy et al, 2005) dalam Briguglio et

al, (2007), khususnya di negara-negara pulau kecil menunjukkan bahwa iklim merupakan “aset utama” yang

mempengaruhi aktivitas pariwisata, perikanan dan kegiatan lainnya di wilayah pesisir secara alamiah. Sebab

di Negara-negara itu aktivitas ekonominya bergantung pada pariwisata, perikanan dan kegiatan lain di pesisir.

Penelitian Briguglio dan Cordina (2003) di Malta menunjukkan bahwa perubahan iklim telah mempengaruhi

aktivitas pariwisata, perikanan tangkap dan utilitas publik. Artinya perubahan iklim di negara-negara pulau

maupun attol tidak hanya berdampak secara ekologis, klimatologis maupun ekosistem, melainkan juga secara

sosial maupun ekonomi. Akibatnya, kehidupan manusia yang bermukim di negara-negara itu terancam.

Dampak yang diuraikan tersebut yang berdasarkan hasil-hasil penelitian setidaknya menjadi pelajaran

berharga bagi bangsa Indonesia karena pada pulau-pulau kecil di perairan Indonesia ada yang berbatasan

langsung dengan perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Tabel di bawah ini menyajikan proyeksi

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 tentang peningkatan suhu di berbagai

kawasan lautan di permukaan bumi dimana negara pulau-pulau dan attol berlokasi.

Tabel 1. Proyeksi Peningkatan Suhu Udara (oC) berbagai Kawasan dalam Periode 1961-1990.

Kawasan Proyeksi Perubahan Suhu (oC)

2010–2039 2040–2069 2040–2069

Mediterrania 0.60 - 2.19 0.81 - 3.85 1.20 - 7.07

Karibbia 0.48 - 1.06 0.79 - 2.45 0.94 - 4.18

Samudera Hindia 0.51 - 0.98 0.84 - 2.10 1.05 - 3.77

Pasifik Utara 0.49 - 1.13 0.81 - 2.48 1.00 - 4.17

Pasitik Selatan 0.45 - 0.82 0.80 - 1.79 0.99 - 3.11

Sumber: IPCC (2007) dalam Briguglio, et al, (2007)

Tabel ini menggambarkan proyeksi perubahan suhu udara permukaan selama periode waktu dalam

kurun 30 tahun (2010-2039, 2069-2070 dan 2070-2099) yang didasarkan data dasar periode tahun 1961-1990

pada skala kawasan sub-kontinental di dunia, dimana negara-negara berbasis kepulauan (Small Island

Developing States, SIDS) berlokasi (Briguglio et al, 2007).

Ketiga, secara geologis pulau-pulau kecil perbatasan di Indonesia dipengaruhi oleh

pergerakan/pertemuan lempeng tektonik Eurasia, sehingga rawan terhadap ancaman bencana alam berupa

tsunami, gempa bumi. Atau, berakibat pada berkurangnya luas sebuah pulau kecil. Juga, munculnya daratan

baru akibat pergerakan dari pertemuan lempeng tektonik tadi. Fenomena semacam ini dapat kita temukan

pada pulau-pulau kecil yang berlokasi di wilayah perairan Samudera Hindia yang masuk jalur pergerakanlempeng tektonik misalnya pulau Mentawai, Enggano dan Pulau-Pulau Banyak. Bahkan, di Mentawai dalam

studi penulis tahun 2004 menemukan suatu formasi ekosistem terumbu karang di depan hutan mangrove.

Kondisi semacam ini secara teoritis amat tidak memungkinkan karena habitat mangrove membutuhkan subtrat

lumpur atau pasir berlumpur. Sedangkan, terumbu karang membutuhkan perairan yang cerah dan tak

berlumpur. Fenome unik ini terjadi karena terumbu karang yang terbentuk akibat naiknnya permukaan daratan

pulau akibat pergerakan lempeng tektonik.

Keempat, secara oseanografi eksistensi pulau-pulau kecil amat dipengaruhi oleh pergerakan arus,

gelombang, pola pasang-surut. Pola arus, gelombang dan pasang surut yang amat dinamis mempengaruhi

kondisi daratan di suatu pulau kecil. Bila manusia senantiasa melakukan tindakan destruktif dengan

menambang pasir di pulau kecil dan karang di sekitar perairannya, lambat laun akan menyebabkan pulau itu

mengalami abrasi bahkan hilang sama sekali. Sebab, karang menjadi penghalang pulau dari hentaman

gelombang yang kuat. Sementara, pasir yang secara terus-menerus diambil akan menyebabkan pulau kecil

hilang. Umpamanya, Pulau Nipa yang merupakan pulau terluar yang menjadi titik pangkal perbatasan maritim

Indonesia-Singapura yang hampir saja hilang akibat pengerukan pasir laut oleh pihak-pihak yang tak

bertanggung jawab yang kemudian di jual ke Singapura untuk mereklamasi pantainya dan memperluas

bandara udaranya (Chiang Mai).

Kelima, secara politik, keberadaan pulau-pulau perbatasan maritim memiliki nilai strategis karena

menyangkut posisi tawar Indonesia di mata dunia internasional. Pada tahun 2002, Indonesia mengalami

kekalahan dalam Mahkamah Internasional di Denhag Negeri Belanda dalam kasus perebutan pulau Sipadan-

Ligitan dengan Malaysia. Perbandingan suaranya 16 mendukung Malaysia dan 1 mendukung Indonesia.

Praktis memberikan pukulan telak perbagai pihak di Indonesia, umpamanya Departemen Kelautan dan

Perikanan (DKP) maupun Departemen Luar Negeri. Kekalahan Indonesia ini membangunkan kesadaran

geografis dari semua pihak di negeri ini. Sejak saat itulah berbagai forum ilmiah, riset perguruan tinggi,

pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat peduli terhadap PPK. Umpamanya, 8 Februari 2003,

Forum Kajian Kewilayahan Negara Kesatuan RI UNPAD-ITB menyelenggarakan diskusi panel

bertema ”Reaktualisasi Wawasan Nusantara dalam Perspektif Kesatuan Wilayah Negara Republik Indonesia”.

Dua panelis dalam forum itu, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan, RI, Dr. Etty R. Agoes dan Dr. Joenil

Kahar, Pakar Kewilayahan dari ITB Bandung. Mereka mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat delapan

pulau di perbatasan Indonesia termasuk kategori miskin yaitu Pulau Patek (berbatasan dengan Timor Timur),

Pulau Pasir Putih (Australia), Pulau Mapia (di utara Biak, Papua), Pulau Rondo (berbatasan dengan Andaman,

India), Pulau Nipah (Singapura), Pulau Miangas,(Sulwesi Utara), gugusan karang Ashmore di selatan Kupang

yang berbatasan dengan Australia, serta sebuah pulau kosong di Kalimantan Barat (diduduki nelayan

Thailand). Juga, dinyatakan bahwa Indonesia memiliki sekitar 10.000 pulau yang tidak berpenghuni dan

banyak disalahgunakan. Keduanya juga mengkritisi bahwa pembangunan daerah di perbatasan dengan

menonjolkan politik dan Hankamnas kurang efektif bagi masyarakat perbatasan. Masyarakat di wilayah ini

dalam pandangan keduanya lebih membutuhkan akses ekonomi, sekalipun sudah berlangsung patroli TNI-AL

yang sekaligus memberi pelayan pasar (Kompas, 9 Februari, 2003). Masalah politik semacam ini tak bisa

dianggap sepele karena menyangkut kedaulatan sebuah bangsa. Ramainya kembali kasus Ambalat saat ini

akibat provokasi kapal-kapal Malaysia yang masuk perairan Indonesia menjadi hal krusial untuk diselesaikan

agar bangsa ini memiliki harkat dan martabat yang tinggi di mata negara lain.

PULAU-PULAU KECIL SEBAGAI MASALAH PERBATASAN DI INDONESIA

PULAU-PULAU KECIL SEBAGAI MASALAH PERBATASAN DI INDONESIA

Pulau – Pulau Kecil Perbatasan (PPKB) yang berada di kawasan perbatasan Negara jumlahnya

mencapai 92 buah pulau. Menurut pasal 8 UU No. 43 Tahun 2008 tentang Negara Wilayah yakni secara

yurisdiksi berbatasan dengan wilayah yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau,

Thailand, Timor Leste, dan Vietnam. Pulau – pulau tersebut memiliki nilai strategis secara geo-politik, geoekonomi,

geografi maupun geo-kultural.

Pertama, geo - ekonomi. Secara geo-ekonomi, PPKB memiliki potensi sumberdaya ekonomi yang

meliputi (i) sumberdaya kelautan berupa perikanan tangkap (ikan, teripang, kepiting, dan moluska), budidaya

laut, terumbu karang, dan lamun, serta (ii) sumberdaya non-kelautan berupa hutan mangrove, tanaman

perkebunan (kelapa), cengkeh, dan pala maupun tanaman pangan. Sumberdaya ekonomi tersebut menjadi

sumber mata pencaharian masyarakat yang menghuninya.

Kedua, geo - politik. Secara geo-politik PPKB bernilai strategis untuk mengukuhkan eksistensi wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mengingat batas maritime Indonesia dengan Negara tetangga

acuannya diawali dari pulau perbatasan yang terluar. Apabila, pulau perbatasan terluar mengalami degradasi

akibat ancaman abrasi, tindakan destruktif manusia yang mengekpsploitasi sumberdaya mineral yang

terkandung di dalamnya maupun di perairannya, otomatis akan berdampak pada keberadaan pulau itu.

Apalagi, sekarang ini ancaman perubahan iklim global yang membuat permukaan air laut meningkat sehingga

pulau – pulau kecil berpotensi akan tenggelam. Bila hal ini terjadi di PPKB Indonesia, otomatis akan

mengancam batas maritime Negara kita dengan Negara tetangga (kedaulatan nasional).

Ketiga, secara geografis, PPKB merupakan titik awal untuk menunjukkan kepada negara – negara

tetangga bahwa dari situlah batas wilayah Indonesia dengan mereka. Hal ini sejalan dengan ketentuan hukum

laut internasional, UNCLOS 1982 bahwa batas terluar dari negara kepulauan ditentukan berdasarkan posisi

pulau terluar ke arah laut bebas atau dengan negara tetangga yang berbatasan langsung secara geografis.

Walaupun, Indonesia masih menyisahkan pelbagai kesepakatan yang belum tuntas dengan negara tetangga

seperti Timor Leste, Palau dan Malaysia.

Keempat, geo - kultural. Kultur masyarakat di PPKB umumnya bersifat heterogen karena berasal dari

berbagai etnik yang memiliki karakteristik sosio-kultural yang khas seperti orang Bugis, Makassar, Bajo, dan

Buton. Mereka umumnya sebagai bangsa pelaut yang mencerminkan khasanah kultural tersendiri. Proses

bermukimnya mereka di PPKB itu sudah berlangsung lama akibat kondisi sosial – ekonomi yang mereka

hadapi di daerah asalnya maupun konflik peperangan yang kerap disebut sebagai proses “diaspora”.

Akibatnya, masyarakat di PPKB mau tidak mau harus mengalami proses akulturasi budaya dari pelbagai etnik.

Kondisi multikulturalisme yang mewarnai masyarakat di PPKB secara geo-kultural menjadi kekuatan potensial

untuk merekatkan nilai-nilai kebangsaan Indonesia dan memperkuat eksistensi NKRI. Bahkan, etnik-etnik

tersebut memiliki tradisi – tradisi kebudayaan (seni, sastera maupun teknologi perkapalan tradisional) yang

sebenarnya merupakan kekuataan pengetahuan asli bangsa Indonesia. Sayangnya, sebagian pengetahuan

ini terserabut dari akarnya akibat ”kolonialisasi” yang berlangsung lama sehingga mempengaruhi proses

kemajuan dan kemampuan masyarakat Indonesia dalam bidang teknologi kelautan dan perkapalan.

Nilai – nilai strategis yang dikemukakan ini otomatis berpengaruh signifikan dalam menyusun tata

ruang nasional di Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan peraturan perundangan yakni (i) UU

No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (PWP3K) yang khusus

mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau kecil. UU ini juga menjadi dasar untuk

menata ruang wilayah Pulau – Pulau Kecil selain (ii) UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang yang

memang menjadi dasar utama pengaturan ruang di wilayah Indonesia termasuk di pulau kecil perbatasan.

1 Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Pulau–pulau kecil perbatasan di Indonesia jumlahnya 92 buah pulau itu memiliki permasalahan yang

kompleks dari berbagai aspek baik secara ekonomi, ekologis, geologis, osenografis, politik, sosial-budaya

maupun pertahanan keamanan.

Pertama, secara ekonomi PPKB memiliki akses ekonomi dan dinamikanya lebih bergantung kepada

negara tetangga Indonesia yang kerap memiliki disparitas yang jauh dari segi kesejahteraan masyarakat, dan

infrastruktur sosial maupun pendidikan. Umpamanya, pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan

Malaysia Utara dan wilayahnya dibagi dua antara Indonesia dan Malaysia, kondisi ekonomi masyarakatnya

berbeda jauh dengan wilayah yang masuk teritorial Malaysia ketimbang Indonesia. Apalagi, bila dibandingkan

dengan Tawau maupun Sabah di Malaysia, jaringan infrastruktur transportasi daratnya maupun sarana sosial

amat timpang. Akibatnya, masyarakat di wilayah PPKB umumnya berada dalam kondisi miskin dan tertinggal,

bila dibandingkan dengan wilayah induknya. Mungkin Pulau Sebatik masih relatif dekat dengan Kabupaten

Nunukan ketimbang Pulau Miangas yang jaraknya amat jauh dengan daratan Provinsi Sulawesi Utara atau

yang paling terpencil adalah Palau dengan Provinsi Papua.

Kedua, ekologis eksistensi PPKB dipengaruhi daya dukung pulau kecil yang amat rentang dengan

perubahan lingkungan (perubahan iklim) yang terjadi secara global. Umpamanya, kenaikan suhu permukaan

laut akan menyebabkan (i) air laut mengalami keasaman sehingga biota yang hidup di badan air dan siklus

rantai makanan akan terputus; (ii) ekosistem terumbu karang yang banyak mengelilingi sekitar perairan pulaupulau

kecil seperti di pulau Bras akan mengalami pemutihan (bleching) sehingga secara ekologi, biota (ikan

karang) yang berasosiasi dengan terumbu karang akan mengalami penurunan populasi maupun

kelimpahannya. Belum lagi kerusakan ini otomatis akan mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat

yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya tersebut. Ekosistem terumbu karang yang terpelihara

dengan baik terutama tipologi karang penghalang (barrier reef) amat berperan melindungi pulau dari

hantaman gelombang sehingga tak menyebabkan abrasi yang mengancam eksistensi pulau itu.

Eksistensi pulau kecil juga amat ditentukan oleh vegetasi yang tumbuh di sekeliling daratannya.

Umpamnya, hutan mangrove ataupun jenis tanaman waru. Keberadaan vegetasi ini amat berperan dalam

melindungi pulau dan masyarakat yang bermukim di dalamnya dari ancaman angin topan, dan gelombang laut

tinggi. Bukan hanya itu, secara ekologis ekosistem mangrove juga berperan sebagai tempat biota laut (ikan

dan udang) untuk berkembang biak dan mencari makan termasuk habitat burung, dan hewan lainnya. Bahkan,

perakaran mangrove dapat menjadi penyaring bahan pencemaran minyak yang kerap dibuang kapal yang

melintasi perairan Indonesia. Apalagi beberapa pulau perbatasan kita berada di jalur Alur Laut Kepulauan

Indonesia (ALKI) I- III yang ramai dilayari kapal-kapal besar dari Asia ke benua Amerika melalui Pasifik.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, perubahan iklim global juga mempengaruhi kondisi dan

keberlanjutan PPKB. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 dalam Chapter

16 tentang Pulau-Pulau Kecil menyimpulkan bahwa perubahan iklim berdampak luas dan kompleks. Bahkan,

ekstrimnya akan mampu menenggelamkan pulau tersebut. Barnet dan Adger (2003) yang meringkas

penelitian Nurse dan Sem (2001) menyajikan dampak perubahan iklim global terhadap negara-negara di pulau

attol di Pasifik misalnya yakni:

1. Terjadinya kehilangan lahan yang potensial apabila terjadi kenaikan permukaan air laut.

2. Terjadinya perubahan dalam komposisi dan kompetisi antar spesies yang hidup di pulau tersebut

3. Degradasi terumbu karang, mangrove, dan rumput laut akan berdampak negatif terhadap populasi ikan

karang

4. Meningkatnya salinitas tanah pada batas wilayah pesisir pulau-pulau

5. Meningkatnya perubahan turunnya curah hujan yang mengakibat kekeringan

6. Meningkatnya angin siklon yang disertai dengan gelombang dan badai yang menyebabkan banjir

7. Terjadinya dampak kegagalan panen tanaman makan pokok yang diakibatkan perubahan kelembaban

tanah, salinitas dan curah hujan.

8. Menurunnya keamanan pangan akibat kegagalan panen.

9. Terjadinya erosi di wilayah pesisir akibat perubahan iklim yang menyebabkan kerugian dalam bidang

pariwisata

10. Terjadinya dampak ekonomi yang disebabkan kerusakan infrastruktur di negara pulau yang diakibat

bencana alam dan menurunkan pendapatan dari sektor pariwisata.

11. Menurunnya derajat kesehatan masyarakat akibat wabah penyakit dan ketidaknyaman pangan.

Sementara itu, hasil penelitian lainnya yang mengkaitkan antara perubahan iklim dan pembangunan

berkelanjutan (Hay et al, 2003, Hug dan Reid, 2004, Munasinghe, 2003, Koshy et al, 2005) dalam Briguglio et

al, (2007), khususnya di negara-negara pulau kecil menunjukkan bahwa iklim merupakan “aset utama” yang

mempengaruhi aktivitas pariwisata, perikanan dan kegiatan lainnya di wilayah pesisir secara alamiah. Sebab

di Negara-negara itu aktivitas ekonominya bergantung pada pariwisata, perikanan dan kegiatan lain di pesisir.

Penelitian Briguglio dan Cordina (2003) di Malta menunjukkan bahwa perubahan iklim telah mempengaruhi

aktivitas pariwisata, perikanan tangkap dan utilitas publik. Artinya perubahan iklim di negara-negara pulau

maupun attol tidak hanya berdampak secara ekologis, klimatologis maupun ekosistem, melainkan juga secara

sosial maupun ekonomi. Akibatnya, kehidupan manusia yang bermukim di negara-negara itu terancam.

Dampak yang diuraikan tersebut yang berdasarkan hasil-hasil penelitian setidaknya menjadi pelajaran

berharga bagi bangsa Indonesia karena pada pulau-pulau kecil di perairan Indonesia ada yang berbatasan

langsung dengan perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Tabel di bawah ini menyajikan proyeksi

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 tentang peningkatan suhu di berbagai

kawasan lautan di permukaan bumi dimana negara pulau-pulau dan attol berlokasi.

Tabel 1. Proyeksi Peningkatan Suhu Udara (oC) berbagai Kawasan dalam Periode 1961-1990.

Kawasan Proyeksi Perubahan Suhu (oC)

2010–2039 2040–2069 2040–2069

Mediterrania 0.60 - 2.19 0.81 - 3.85 1.20 - 7.07

Karibbia 0.48 - 1.06 0.79 - 2.45 0.94 - 4.18

Samudera Hindia 0.51 - 0.98 0.84 - 2.10 1.05 - 3.77

Pasifik Utara 0.49 - 1.13 0.81 - 2.48 1.00 - 4.17

Pasitik Selatan 0.45 - 0.82 0.80 - 1.79 0.99 - 3.11

Sumber: IPCC (2007) dalam Briguglio, et al, (2007)

Tabel ini menggambarkan proyeksi perubahan suhu udara permukaan selama periode waktu dalam

kurun 30 tahun (2010-2039, 2069-2070 dan 2070-2099) yang didasarkan data dasar periode tahun 1961-1990

pada skala kawasan sub-kontinental di dunia, dimana negara-negara berbasis kepulauan (Small Island

Developing States, SIDS) berlokasi (Briguglio et al, 2007).

Ketiga, secara geologis pulau-pulau kecil perbatasan di Indonesia dipengaruhi oleh

pergerakan/pertemuan lempeng tektonik Eurasia, sehingga rawan terhadap ancaman bencana alam berupa

tsunami, gempa bumi. Atau, berakibat pada berkurangnya luas sebuah pulau kecil. Juga, munculnya daratan

baru akibat pergerakan dari pertemuan lempeng tektonik tadi. Fenomena semacam ini dapat kita temukan

pada pulau-pulau kecil yang berlokasi di wilayah perairan Samudera Hindia yang masuk jalur pergerakanlempeng tektonik misalnya pulau Mentawai, Enggano dan Pulau-Pulau Banyak. Bahkan, di Mentawai dalam

studi penulis tahun 2004 menemukan suatu formasi ekosistem terumbu karang di depan hutan mangrove.

Kondisi semacam ini secara teoritis amat tidak memungkinkan karena habitat mangrove membutuhkan subtrat

lumpur atau pasir berlumpur. Sedangkan, terumbu karang membutuhkan perairan yang cerah dan tak

berlumpur. Fenome unik ini terjadi karena terumbu karang yang terbentuk akibat naiknnya permukaan daratan

pulau akibat pergerakan lempeng tektonik.

Keempat, secara oseanografi eksistensi pulau-pulau kecil amat dipengaruhi oleh pergerakan arus,

gelombang, pola pasang-surut. Pola arus, gelombang dan pasang surut yang amat dinamis mempengaruhi

kondisi daratan di suatu pulau kecil. Bila manusia senantiasa melakukan tindakan destruktif dengan

menambang pasir di pulau kecil dan karang di sekitar perairannya, lambat laun akan menyebabkan pulau itu

mengalami abrasi bahkan hilang sama sekali. Sebab, karang menjadi penghalang pulau dari hentaman

gelombang yang kuat. Sementara, pasir yang secara terus-menerus diambil akan menyebabkan pulau kecil

hilang. Umpamanya, Pulau Nipa yang merupakan pulau terluar yang menjadi titik pangkal perbatasan maritim

Indonesia-Singapura yang hampir saja hilang akibat pengerukan pasir laut oleh pihak-pihak yang tak

bertanggung jawab yang kemudian di jual ke Singapura untuk mereklamasi pantainya dan memperluas

bandara udaranya (Chiang Mai).

Kelima, secara politik, keberadaan pulau-pulau perbatasan maritim memiliki nilai strategis karena

menyangkut posisi tawar Indonesia di mata dunia internasional. Pada tahun 2002, Indonesia mengalami

kekalahan dalam Mahkamah Internasional di Denhag Negeri Belanda dalam kasus perebutan pulau Sipadan-

Ligitan dengan Malaysia. Perbandingan suaranya 16 mendukung Malaysia dan 1 mendukung Indonesia.

Praktis memberikan pukulan telak perbagai pihak di Indonesia, umpamanya Departemen Kelautan dan

Perikanan (DKP) maupun Departemen Luar Negeri. Kekalahan Indonesia ini membangunkan kesadaran

geografis dari semua pihak di negeri ini. Sejak saat itulah berbagai forum ilmiah, riset perguruan tinggi,

pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat peduli terhadap PPK. Umpamanya, 8 Februari 2003,

Forum Kajian Kewilayahan Negara Kesatuan RI UNPAD-ITB menyelenggarakan diskusi panel

bertema ”Reaktualisasi Wawasan Nusantara dalam Perspektif Kesatuan Wilayah Negara Republik Indonesia”.

Dua panelis dalam forum itu, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan, RI, Dr. Etty R. Agoes dan Dr. Joenil

Kahar, Pakar Kewilayahan dari ITB Bandung. Mereka mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat delapan

pulau di perbatasan Indonesia termasuk kategori miskin yaitu Pulau Patek (berbatasan dengan Timor Timur),

Pulau Pasir Putih (Australia), Pulau Mapia (di utara Biak, Papua), Pulau Rondo (berbatasan dengan Andaman,

India), Pulau Nipah (Singapura), Pulau Miangas,(Sulwesi Utara), gugusan karang Ashmore di selatan Kupang

yang berbatasan dengan Australia, serta sebuah pulau kosong di Kalimantan Barat (diduduki nelayan

Thailand). Juga, dinyatakan bahwa Indonesia memiliki sekitar 10.000 pulau yang tidak berpenghuni dan

banyak disalahgunakan. Keduanya juga mengkritisi bahwa pembangunan daerah di perbatasan dengan

menonjolkan politik dan Hankamnas kurang efektif bagi masyarakat perbatasan. Masyarakat di wilayah ini

dalam pandangan keduanya lebih membutuhkan akses ekonomi, sekalipun sudah berlangsung patroli TNI-AL

yang sekaligus memberi pelayan pasar (Kompas, 9 Februari, 2003). Masalah politik semacam ini tak bisa

dianggap sepele karena menyangkut kedaulatan sebuah bangsa. Ramainya kembali kasus Ambalat saat ini

akibat provokasi kapal-kapal Malaysia yang masuk perairan Indonesia menjadi hal krusial untuk diselesaikan

agar bangsa ini memiliki harkat dan martabat yang tinggi di mata negara lain.