PULAU-PULAU KECIL SEBAGAI MASALAH PERBATASAN DI INDONESIA
Pulau – Pulau Kecil Perbatasan (PPKB) yang berada di kawasan perbatasan Negara jumlahnya
mencapai 92 buah pulau. Menurut pasal 8 UU No. 43 Tahun 2008 tentang Negara Wilayah yakni secara
yurisdiksi berbatasan dengan wilayah yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau,
Thailand, Timor Leste, dan Vietnam. Pulau – pulau tersebut memiliki nilai strategis secara geo-politik, geoekonomi,
geografi maupun geo-kultural.
Pertama, geo - ekonomi. Secara geo-ekonomi, PPKB memiliki potensi sumberdaya ekonomi yang
meliputi (i) sumberdaya kelautan berupa perikanan tangkap (ikan, teripang, kepiting, dan moluska), budidaya
laut, terumbu karang, dan lamun, serta (ii) sumberdaya non-kelautan berupa hutan mangrove, tanaman
perkebunan (kelapa), cengkeh, dan pala maupun tanaman pangan. Sumberdaya ekonomi tersebut menjadi
sumber mata pencaharian masyarakat yang menghuninya.
Kedua, geo - politik. Secara geo-politik PPKB bernilai strategis untuk mengukuhkan eksistensi wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mengingat batas maritime Indonesia dengan Negara tetangga
acuannya diawali dari pulau perbatasan yang terluar. Apabila, pulau perbatasan terluar mengalami degradasi
akibat ancaman abrasi, tindakan destruktif manusia yang mengekpsploitasi sumberdaya mineral yang
terkandung di dalamnya maupun di perairannya, otomatis akan berdampak pada keberadaan pulau itu.
Apalagi, sekarang ini ancaman perubahan iklim global yang membuat permukaan air laut meningkat sehingga
pulau – pulau kecil berpotensi akan tenggelam. Bila hal ini terjadi di PPKB Indonesia, otomatis akan
mengancam batas maritime Negara kita dengan Negara tetangga (kedaulatan nasional).
Ketiga, secara geografis, PPKB merupakan titik awal untuk menunjukkan kepada negara – negara
tetangga bahwa dari situlah batas wilayah Indonesia dengan mereka. Hal ini sejalan dengan ketentuan hukum
laut internasional, UNCLOS 1982 bahwa batas terluar dari negara kepulauan ditentukan berdasarkan posisi
pulau terluar ke arah laut bebas atau dengan negara tetangga yang berbatasan langsung secara geografis.
Walaupun, Indonesia masih menyisahkan pelbagai kesepakatan yang belum tuntas dengan negara tetangga
seperti Timor Leste, Palau dan Malaysia.
Keempat, geo - kultural. Kultur masyarakat di PPKB umumnya bersifat heterogen karena berasal dari
berbagai etnik yang memiliki karakteristik sosio-kultural yang khas seperti orang Bugis, Makassar, Bajo, dan
Buton. Mereka umumnya sebagai bangsa pelaut yang mencerminkan khasanah kultural tersendiri. Proses
bermukimnya mereka di PPKB itu sudah berlangsung lama akibat kondisi sosial – ekonomi yang mereka
hadapi di daerah asalnya maupun konflik peperangan yang kerap disebut sebagai proses “diaspora”.
Akibatnya, masyarakat di PPKB mau tidak mau harus mengalami proses akulturasi budaya dari pelbagai etnik.
Kondisi multikulturalisme yang mewarnai masyarakat di PPKB secara geo-kultural menjadi kekuatan potensial
untuk merekatkan nilai-nilai kebangsaan Indonesia dan memperkuat eksistensi NKRI. Bahkan, etnik-etnik
tersebut memiliki tradisi – tradisi kebudayaan (seni, sastera maupun teknologi perkapalan tradisional) yang
sebenarnya merupakan kekuataan pengetahuan asli bangsa Indonesia. Sayangnya, sebagian pengetahuan
ini terserabut dari akarnya akibat ”kolonialisasi” yang berlangsung lama sehingga mempengaruhi proses
kemajuan dan kemampuan masyarakat Indonesia dalam bidang teknologi kelautan dan perkapalan.
Nilai – nilai strategis yang dikemukakan ini otomatis berpengaruh signifikan dalam menyusun tata
ruang nasional di Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan peraturan perundangan yakni (i) UU
No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (PWP3K) yang khusus
mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau kecil. UU ini juga menjadi dasar untuk
menata ruang wilayah Pulau – Pulau Kecil selain (ii) UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang yang
memang menjadi dasar utama pengaturan ruang di wilayah Indonesia termasuk di pulau kecil perbatasan.
1 Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Pulau–pulau kecil perbatasan di Indonesia jumlahnya 92 buah pulau itu memiliki permasalahan yang
kompleks dari berbagai aspek baik secara ekonomi, ekologis, geologis, osenografis, politik, sosial-budaya
maupun pertahanan keamanan.
Pertama, secara ekonomi PPKB memiliki akses ekonomi dan dinamikanya lebih bergantung kepada
negara tetangga Indonesia yang kerap memiliki disparitas yang jauh dari segi kesejahteraan masyarakat, dan
infrastruktur sosial maupun pendidikan. Umpamanya, pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan
Malaysia Utara dan wilayahnya dibagi dua antara Indonesia dan Malaysia, kondisi ekonomi masyarakatnya
berbeda jauh dengan wilayah yang masuk teritorial Malaysia ketimbang Indonesia. Apalagi, bila dibandingkan
dengan Tawau maupun Sabah di Malaysia, jaringan infrastruktur transportasi daratnya maupun sarana sosial
amat timpang. Akibatnya, masyarakat di wilayah PPKB umumnya berada dalam kondisi miskin dan tertinggal,
bila dibandingkan dengan wilayah induknya. Mungkin Pulau Sebatik masih relatif dekat dengan Kabupaten
Nunukan ketimbang Pulau Miangas yang jaraknya amat jauh dengan daratan Provinsi Sulawesi Utara atau
yang paling terpencil adalah Palau dengan Provinsi Papua.
Kedua, ekologis eksistensi PPKB dipengaruhi daya dukung pulau kecil yang amat rentang dengan
perubahan lingkungan (perubahan iklim) yang terjadi secara global. Umpamanya, kenaikan suhu permukaan
laut akan menyebabkan (i) air laut mengalami keasaman sehingga biota yang hidup di badan air dan siklus
rantai makanan akan terputus; (ii) ekosistem terumbu karang yang banyak mengelilingi sekitar perairan pulaupulau
kecil seperti di pulau Bras akan mengalami pemutihan (bleching) sehingga secara ekologi, biota (ikan
karang) yang berasosiasi dengan terumbu karang akan mengalami penurunan populasi maupun
kelimpahannya. Belum lagi kerusakan ini otomatis akan mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat
yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya tersebut. Ekosistem terumbu karang yang terpelihara
dengan baik terutama tipologi karang penghalang (barrier reef) amat berperan melindungi pulau dari
hantaman gelombang sehingga tak menyebabkan abrasi yang mengancam eksistensi pulau itu.
Eksistensi pulau kecil juga amat ditentukan oleh vegetasi yang tumbuh di sekeliling daratannya.
Umpamnya, hutan mangrove ataupun jenis tanaman waru. Keberadaan vegetasi ini amat berperan dalam
melindungi pulau dan masyarakat yang bermukim di dalamnya dari ancaman angin topan, dan gelombang laut
tinggi. Bukan hanya itu, secara ekologis ekosistem mangrove juga berperan sebagai tempat biota laut (ikan
dan udang) untuk berkembang biak dan mencari makan termasuk habitat burung, dan hewan lainnya. Bahkan,
perakaran mangrove dapat menjadi penyaring bahan pencemaran minyak yang kerap dibuang kapal yang
melintasi perairan Indonesia. Apalagi beberapa pulau perbatasan kita berada di jalur Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI) I- III yang ramai dilayari kapal-kapal besar dari Asia ke benua Amerika melalui Pasifik.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, perubahan iklim global juga mempengaruhi kondisi dan
keberlanjutan PPKB. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 dalam Chapter
16 tentang Pulau-Pulau Kecil menyimpulkan bahwa perubahan iklim berdampak luas dan kompleks. Bahkan,
ekstrimnya akan mampu menenggelamkan pulau tersebut. Barnet dan Adger (2003) yang meringkas
penelitian Nurse dan Sem (2001) menyajikan dampak perubahan iklim global terhadap negara-negara di pulau
attol di Pasifik misalnya yakni:
1. Terjadinya kehilangan lahan yang potensial apabila terjadi kenaikan permukaan air laut.
2. Terjadinya perubahan dalam komposisi dan kompetisi antar spesies yang hidup di pulau tersebut
3. Degradasi terumbu karang, mangrove, dan rumput laut akan berdampak negatif terhadap populasi ikan
karang
4. Meningkatnya salinitas tanah pada batas wilayah pesisir pulau-pulau
5. Meningkatnya perubahan turunnya curah hujan yang mengakibat kekeringan
6. Meningkatnya angin siklon yang disertai dengan gelombang dan badai yang menyebabkan banjir
7. Terjadinya dampak kegagalan panen tanaman makan pokok yang diakibatkan perubahan kelembaban
tanah, salinitas dan curah hujan.
8. Menurunnya keamanan pangan akibat kegagalan panen.
9. Terjadinya erosi di wilayah pesisir akibat perubahan iklim yang menyebabkan kerugian dalam bidang
pariwisata
10. Terjadinya dampak ekonomi yang disebabkan kerusakan infrastruktur di negara pulau yang diakibat
bencana alam dan menurunkan pendapatan dari sektor pariwisata.
11. Menurunnya derajat kesehatan masyarakat akibat wabah penyakit dan ketidaknyaman pangan.
Sementara itu, hasil penelitian lainnya yang mengkaitkan antara perubahan iklim dan pembangunan
berkelanjutan (Hay et al, 2003, Hug dan Reid, 2004, Munasinghe, 2003, Koshy et al, 2005) dalam Briguglio et
al, (2007), khususnya di negara-negara pulau kecil menunjukkan bahwa iklim merupakan “aset utama” yang
mempengaruhi aktivitas pariwisata, perikanan dan kegiatan lainnya di wilayah pesisir secara alamiah. Sebab
di Negara-negara itu aktivitas ekonominya bergantung pada pariwisata, perikanan dan kegiatan lain di pesisir.
Penelitian Briguglio dan Cordina (2003) di Malta menunjukkan bahwa perubahan iklim telah mempengaruhi
aktivitas pariwisata, perikanan tangkap dan utilitas publik. Artinya perubahan iklim di negara-negara pulau
maupun attol tidak hanya berdampak secara ekologis, klimatologis maupun ekosistem, melainkan juga secara
sosial maupun ekonomi. Akibatnya, kehidupan manusia yang bermukim di negara-negara itu terancam.
Dampak yang diuraikan tersebut yang berdasarkan hasil-hasil penelitian setidaknya menjadi pelajaran
berharga bagi bangsa Indonesia karena pada pulau-pulau kecil di perairan Indonesia ada yang berbatasan
langsung dengan perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Tabel di bawah ini menyajikan proyeksi
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 tentang peningkatan suhu di berbagai
kawasan lautan di permukaan bumi dimana negara pulau-pulau dan attol berlokasi.
Tabel 1. Proyeksi Peningkatan Suhu Udara (oC) berbagai Kawasan dalam Periode 1961-1990.
Kawasan Proyeksi Perubahan Suhu (oC)
2010–2039 2040–2069 2040–2069
Mediterrania 0.60 - 2.19 0.81 - 3.85 1.20 - 7.07
Karibbia 0.48 - 1.06 0.79 - 2.45 0.94 - 4.18
Samudera Hindia 0.51 - 0.98 0.84 - 2.10 1.05 - 3.77
Pasifik Utara 0.49 - 1.13 0.81 - 2.48 1.00 - 4.17
Pasitik Selatan 0.45 - 0.82 0.80 - 1.79 0.99 - 3.11
Sumber: IPCC (2007) dalam Briguglio, et al, (2007)
Tabel ini menggambarkan proyeksi perubahan suhu udara permukaan selama periode waktu dalam
kurun 30 tahun (2010-2039, 2069-2070 dan 2070-2099) yang didasarkan data dasar periode tahun 1961-1990
pada skala kawasan sub-kontinental di dunia, dimana negara-negara berbasis kepulauan (Small Island
Developing States, SIDS) berlokasi (Briguglio et al, 2007).
Ketiga, secara geologis pulau-pulau kecil perbatasan di Indonesia dipengaruhi oleh
pergerakan/pertemuan lempeng tektonik Eurasia, sehingga rawan terhadap ancaman bencana alam berupa
tsunami, gempa bumi. Atau, berakibat pada berkurangnya luas sebuah pulau kecil. Juga, munculnya daratan
baru akibat pergerakan dari pertemuan lempeng tektonik tadi. Fenomena semacam ini dapat kita temukan
pada pulau-pulau kecil yang berlokasi di wilayah perairan Samudera Hindia yang masuk jalur pergerakanlempeng tektonik misalnya pulau Mentawai, Enggano dan Pulau-Pulau Banyak. Bahkan, di Mentawai dalam
studi penulis tahun 2004 menemukan suatu formasi ekosistem terumbu karang di depan hutan mangrove.
Kondisi semacam ini secara teoritis amat tidak memungkinkan karena habitat mangrove membutuhkan subtrat
lumpur atau pasir berlumpur. Sedangkan, terumbu karang membutuhkan perairan yang cerah dan tak
berlumpur. Fenome unik ini terjadi karena terumbu karang yang terbentuk akibat naiknnya permukaan daratan
pulau akibat pergerakan lempeng tektonik.
Keempat, secara oseanografi eksistensi pulau-pulau kecil amat dipengaruhi oleh pergerakan arus,
gelombang, pola pasang-surut. Pola arus, gelombang dan pasang surut yang amat dinamis mempengaruhi
kondisi daratan di suatu pulau kecil. Bila manusia senantiasa melakukan tindakan destruktif dengan
menambang pasir di pulau kecil dan karang di sekitar perairannya, lambat laun akan menyebabkan pulau itu
mengalami abrasi bahkan hilang sama sekali. Sebab, karang menjadi penghalang pulau dari hentaman
gelombang yang kuat. Sementara, pasir yang secara terus-menerus diambil akan menyebabkan pulau kecil
hilang. Umpamanya, Pulau Nipa yang merupakan pulau terluar yang menjadi titik pangkal perbatasan maritim
Indonesia-Singapura yang hampir saja hilang akibat pengerukan pasir laut oleh pihak-pihak yang tak
bertanggung jawab yang kemudian di jual ke Singapura untuk mereklamasi pantainya dan memperluas
bandara udaranya (Chiang Mai).
Kelima, secara politik, keberadaan pulau-pulau perbatasan maritim memiliki nilai strategis karena
menyangkut posisi tawar Indonesia di mata dunia internasional. Pada tahun 2002, Indonesia mengalami
kekalahan dalam Mahkamah Internasional di Denhag Negeri Belanda dalam kasus perebutan pulau Sipadan-
Ligitan dengan Malaysia. Perbandingan suaranya 16 mendukung Malaysia dan 1 mendukung Indonesia.
Praktis memberikan pukulan telak perbagai pihak di Indonesia, umpamanya Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) maupun Departemen Luar Negeri. Kekalahan Indonesia ini membangunkan kesadaran
geografis dari semua pihak di negeri ini. Sejak saat itulah berbagai forum ilmiah, riset perguruan tinggi,
pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat peduli terhadap PPK. Umpamanya, 8 Februari 2003,
Forum Kajian Kewilayahan Negara Kesatuan RI UNPAD-ITB menyelenggarakan diskusi panel
bertema ”Reaktualisasi Wawasan Nusantara dalam Perspektif Kesatuan Wilayah Negara Republik Indonesia”.
Dua panelis dalam forum itu, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan, RI, Dr. Etty R. Agoes dan Dr. Joenil
Kahar, Pakar Kewilayahan dari ITB Bandung. Mereka mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat delapan
pulau di perbatasan Indonesia termasuk kategori miskin yaitu Pulau Patek (berbatasan dengan Timor Timur),
Pulau Pasir Putih (Australia), Pulau Mapia (di utara Biak, Papua), Pulau Rondo (berbatasan dengan Andaman,
India), Pulau Nipah (Singapura), Pulau Miangas,(Sulwesi Utara), gugusan karang Ashmore di selatan Kupang
yang berbatasan dengan Australia, serta sebuah pulau kosong di Kalimantan Barat (diduduki nelayan
Thailand). Juga, dinyatakan bahwa Indonesia memiliki sekitar 10.000 pulau yang tidak berpenghuni dan
banyak disalahgunakan. Keduanya juga mengkritisi bahwa pembangunan daerah di perbatasan dengan
menonjolkan politik dan Hankamnas kurang efektif bagi masyarakat perbatasan. Masyarakat di wilayah ini
dalam pandangan keduanya lebih membutuhkan akses ekonomi, sekalipun sudah berlangsung patroli TNI-AL
yang sekaligus memberi pelayan pasar (Kompas, 9 Februari, 2003). Masalah politik semacam ini tak bisa
dianggap sepele karena menyangkut kedaulatan sebuah bangsa. Ramainya kembali kasus Ambalat saat ini
akibat provokasi kapal-kapal Malaysia yang masuk perairan Indonesia menjadi hal krusial untuk diselesaikan
agar bangsa ini memiliki harkat dan martabat yang tinggi di mata negara lain.